Perusuh global kembali bergejolak setelah pejabat militer Israel menyatakan bahwa “garis kuning” di Gaza yang muncul dari gencatan senjata kini adalah perbatasan resmi wilayah itu.
Tapi Perserikatan Bangsa Bangsa PBB tak tinggal diam. Melalui juru bicaranya Stephane Dujarric PBB mengecam keras klaim itu dan menyatakan bahwa perbatasan Gaza tetap berdasarkan batas historis bukan garis kuning.
Menurut PBB penerimaan klaim tersebut bakal melanggar semangat dan isi rencana perdamaian internasional yang justru mengatur penarikan pasukan serta pemulihan keamanan dan kemanusiaan di Gaza. Pernyataan Dujarric sekaligus memperingatkan terhadap upaya membatasi akses bantuan dan nyawa warga sipil di tengah musim hujan.
Apa Itu “Garis Kuning”
Saat gencatan senjata diteken pada 10 Oktober 2025 militer Israel menarik diri dari sebagian wilayah Gaza namun memasang apa yang disebut “yellow line” garis kuning sebagai batas zona kontrol mereka. Di lapangan garis ini ditandai dengan blok beton berwarna kuning bagian dari zona militer.
Zona ini ternyata mencakup area signifikan. Lebih dari setengah wilayah Gaza sekitar 50 sampai 58 persen tanah di sana sekarang dikontrol militer Israel.
Bagi warga Palestina garis ini bukan sekadar penanda. Melintasinya bisa berarti risiko hidup dan mati. Banyak pemukiman dan lahan pertanian berubah menjadi area terlarang.
Kenapa Israel Mengaku Itu Perbatasan Baru
Eyal Zamir Panglima Angkatan Darat Israel secara publik menyatakan “garis kuning” kini adalah batas baru Gaza. Dengan begitu menurutnya kontrol operasional militer Israel tetap berlaku di sebagian besar wilayah Gaza.
Menurut laporan upaya ini dianggap sebagai langkah untuk mengamankan wilayah termasuk area strategis serta akses ke perbatasan dengan Mesir dan lahan pertanian penting. Namun langkah ini bertentangan dengan isi gencatan senjata dan harapan internasional agar Gaza kembali ke kondisi semula tanpa pendudukan militer permanen.
PBB dan Komunitas Internasional Menolak Perubahan Perbatasan
PBB menegaskan bahwa klaim perubahan perbatasan Gaza Israel tidak bisa diterima. Dalam pernyataannya Dujarric menekankan bahwa ketika PBB bicara tentang Gaza yang dimaksud adalah perbatasan historis bukan garis kuning.
Sikap ini sejalan dengan kekhawatiran banyak negara dan organisasi bahwa normalisasi garis kuning sebagai batas permanen berarti legitimasi pendudukan sebagian Gaza. Itu bakal menggagalkan rencana rekonstruksi demiliterisasi dan stabilisasi wilayah sebagaimana diatur di awal kesepakatan gencatan senjata.
Dampak bagi Warga Gaza
Bagi warga Palestina yang rumah dan ladangnya kini berada di dekat atau di dalam zona yang dikontrol militer garis kuning berubah menjadi pemisah nyata antara kehidupan dan ancaman. Dilarang memasuki area tersebut mereka kehilangan akses ke rumah lahan pertanian dan kehidupan normal.
Situasi makin kompleks ketika bantuan kemanusiaan dan pasokan dasar dibatasi apalagi saat hujan lebat. PBB telah menyoroti bahwa pembatasan akses ini memperburuk krisis di Gaza.
Bagi banyak warga sipil klaim garis kuning sebagai batas baru bukan sekadar perubahan administratif melainkan pemiskinan akses terhadap hak asasi dasar rumah makanan dan keselamatan.
Kenapa Perlu Dipersoalkan Secara Keras
Menganggap garis kuning sebagai perbatasan resmi Gaza bukan hanya soal klaim wilayah. Bagi komunitas internasional dan hukum internasional itu berarti mendukung perubahan peta tanpa persetujuan bersama dan memaksa warga sipil menanggung konsekuensi besar.
Tindakan seperti ini bisa menghambat rencana rekonstruksi pemulihan dan penghormatan hak asasi manusia. Juga bisa melemahkan legitimasi proses perdamaian yang diusung lewat gencatan senjata dan resolusi internasional.
Klaim bahwa garis kuning adalah perbatasan baru Gaza sebagaimana disampaikan oleh militer Israel ditolak mentah mentah oleh PBB dan komunitas internasional. Bagi mereka perbatasan Gaza tetap sesuai batas historis dan tak bisa diganti atas nama zona militer atau kesepakatan gencatan senjata.

