Sengketa Permintaan Ijazah Jokowi Meningkat ke Ajudikasi Setelah Mediasi Gagal

 

Sengketa Permintaan Ijazah Jokowi Meningkat ke Ajudikasi Setelah Mediasi Gagal

Komisi Informasi Jawa Tengah KI Jateng baru saja menggelar sidang awal terkait permintaan informasi publik atas salinan ijazah Joko Widodo. Pemohon, Bonatua Silalahi, meminta salinan ijazah yang telah dilegalisir ijazah yang kabarnya dipakai sebagai persyaratan saat pendaftaran calon wali kota Surakarta.

Namun, pihak termohon, yaitu pemerintah kota terkait, tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Karena mediasi tak menemui titik temu, perkara resmi dilanjutkan ke tahap ajudikasi.

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa proses mediasi yang sering dianggap jalur damai dalam sengketa informasi publik tidak selalu berhasil mendamaikan pihak yang bersengketa. Bila harapan transparansi dokumen kerap kandas di awal, publik harus mengamati bagaimana badan peradilan informasi akan menimbang akses versus kerahasiaan.

Apa yang Diminta dan Mengapa Permintaan Ditolak

Permintaan Dokumen yang Lebih Lengkap

Bonatua menuntut tidak hanya salinan ijazah, tetapi juga dokumen pelengkap seperti berita acara verifikasi dan semua catatan autentikasi yang terkait. Dasarnya adalah pandangan bahwa sebagai dokumen yang pernah dipakai dalam proses pencalonan publik, ijazah tersebut punya nilai informatif dan publik.

Alasan Penolakan dari Pihak Termohon

Sementara itu, termohon menolak dengan alasan bahwa dokumen tersebut termasuk informasi yang dikecualikan atau setidaknya pengajuan salinannya tidak bisa dipenuhi. Ketidaksesuaian antara status informasi terbuka dan bentuk akses yang diperbolehkan menjadi sorotan oleh majelis.

Dalam sidang di tingkat pusat, yaitu Komisi Informasi Pusat KI Pusat, majelis hakim sempat menilai bahwa pembatasan akses yang dilakukan oleh pihak terkait bertentangan dengan prinsip keterbukaan. Bila informasi dianggap terbuka maka cukup diperbolehkan untuk dilihat bukan sekadar dipertontonkan.

Proses Sidang Dari Awal Hingga Pemeriksaan Setempat

Setelah mediasi di Jateng gagal, kasus ini digulirkan di tingkat pusat. Pada 28 Oktober 2025, sidang sengketa ijazah digelar di KI Pusat. 

Kedua belah pihak, pemohon dan termohon yaitu Arsip Nasional Republik Indonesia ANRI, menyerahkan bukti dokumen mereka. Pemohon juga berniat menghadirkan saksi ahli demi mendukung klaim bahwa dokumen yang diminta bersifat publik.

Karena mediasi tetap saja buntu, persidangan dilanjutkan lewat ajudikasi nonlitigasi. Pada 9 Desember 2025, majelis melakukan pemeriksaan setempat langsung di kantor Komisi Pemilihan Umum KPU RI, lembaga yang dianggap menyimpan dokumen asli pencalonan. 

Tujuannya untuk meninjau langsung isi dokumen dan menilai apakah sembilan item yang dikecualikan benar benar patut dirahasiakan atau sebaliknya termasuk informasi terbuka.

Implikasi dari Sengketa Ini bagi Keterbukaan Informasi Publik

Kasus ini mengguncang fondasi bagaimana dokumen administratif dan pencalonan pejabat publik dipandang di hadapan hukum. Pertanyaannya adalah apakah dokumen tersebut harus bersifat terbuka bagi publik atau harus dilindungi sebagai data sensitif. 

Jika majelis memutus akses, maka potensi tuntutan transparansi terhadap pejabat publik termasuk rekam jejak pendidikan bisa berpijak pada preseden yang tidak ideal. Sebaliknya, akses penuh bisa memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.

Bagi aktivis dan peneliti, keputusan KI Pusat kelak bisa menjadi landasan untuk memperjuangkan keterbukaan dokumen pejabat publik di masa depan. Namun bagi penyelenggara pemilu maupun arsip negara, hasil persidangan ini bisa menandai batas baru antara dokumen publik dan dokumen rahasia.

Tantangan dan Pertanyaan Terbuka

Kasus ini memunculkan dilema mendasar tentang seberapa besar dokumen yang melekat pada proses pencalonan publik harus dibuka kepada masyarakat. Apakah legitimasi pencalonan cukup dijamin tanpa menampilkan dokumen lengkap. Dan apakah pengecualian informasi bisa membungkam hak publik untuk tahu.

Selain itu, ada pertanyaan praktis. Jika dokumen dianggap terbuka tetapi hanya boleh dilihat di ruang tertutup bukan disalin, apakah itu sudah memenuhi semangat keterbukaan. Banyak pihak berargumen bahwa jika dokumen tidak bisa disalin atau dipublikasikan ulang maka akses tersebut terasa seperti formalitas semata.

Gagalnya mediasi dalam sengketa ijazah Jokowi memaksa proses berjalan ke ranah ajudikasi, sebuah momentum penting bagi perjuangan transparansi dokumen pejabat publik di Indonesia. 

Sidang di KI Pusat dan pemeriksaan setempat di KPU menunjukkan bahwa sengketa ini tidak sekadar persoalan hukum tetapi juga ujian terhadap prinsip keterbukaan informasi di ruang publik.

Apa pun putusan akhirnya, publik patut menaruh perhatian karena hasilnya bisa berdampak luas terhadap hak warga dalam mengakses informasi terutama di momen pemilihan pemimpin. Semoga keputusan yang diambil majelis berpihak pada asas keterbukaan dan keadilan bagi masyarakat.

Lebih baru Lebih lama

ads

Berita Amanah dan Terpeercaya

ads

Berita Amanah dan Terpeercaya
Berita Amanah dan Terpeercaya

نموذج الاتصال