Manchester United sempat mendominasi jalannya laga kala menjamu West Ham di Old Trafford. Tekanan bertubi tubi dilancarkan, sampai akhirnya Diogo Dalot berhasil memecah kebuntuan di menit ke 59. Sebuah gol yang sempat memberi harapan bagi para fans dan seolah kemenangan sudah di depan mata.
Tapi momentum itu tak dijaga dengan baik. Alih alih menambah intensitas, MU justru mengendurkan permainan. Tempo melambat, dominasi tak lagi terasa, dan ruang diberikan ke West Ham untuk bernapas kembali. Hasilnya gol balasan dari Soungoutou Magassa di menit ke 83, yang memaksa laga berakhir imbang 1-1.
Situasi ini menimbulkan rasa frustrasi, bukan hanya di kalangan suporter tapi juga bagi figur yang pernah mengenakan seragam MU seperti Roy Keane. Dan kritik pedas pun mengalir deras.
Keane mentalitas “pembunuh” MU hilang
Bagi Roy Keane, masalah MU sekarang bukan cuma soal eksekusi atau peluang tapi soal mentalitas. Setelah unggul, tim seharusnya menunjukkan karakter kuat menekan, menutup ruang, dan memastikan kemenangan. Sayangnya, komentar Keane tajam MU “kurang kejam” untuk menyelesaikan tugas.
Dia menyebut permainan MU di beberapa laga terakhir sebagai “desperate” dan “really poor”. Menurutnya, United bukannya bermain agresif untuk mengunci hasil, tapi malah terlihat ketakutan saat lawan bangkit. Mental seperti itu menurut Keane tak pantas dimiliki tim besar.
Keane menggarisbawahi satu hal ketika bermain melawan tim papan bawah seperti West Ham terutama saat sudah unggul kamu nggak boleh memberi celah. Memberi ruang sedikit saja bisa berujung bencana. Dan MU sudah kecolongan.
Imbas hasil imbang konsistensi dan harapan zona Eropa terancam
Hasil imbang tadi bukan cuma soal satu poin hilang di kandang. Ini lebih besar dari itu. Dalam lima pertandingan terakhir, ini sudah ketiga kalinya MU gagal menang walau sempat mencetak gol lebih dulu. Konsistensi jadi isu besar dan itu bikin peluang mengejar zona Eropa makin sulit.
Fans dan pundit pun mulai mempertanyakan apa yang salah dengan mentalitas tim terutama dalam fase penutupan laga. Apakah tim ini benar benar punya ambisi dan karakter seorang “pembunuh” saat dibutuhkan Kritik Keane bukan tanpa dasar melihat kelengahan semacam itu terjadi berulang.
Manajemen dan pelatih harus segera menggerakkan haluan. Karena kalau mentalitas tak dibenahi bukan tidak mungkin MU bakal terus kehilangan poin dari tim yang seharusnya bisa dikendalikan.
Kesimpulan MU wajib kembali jadi tim haus kemenangan
Keterpurukan setelah unggul bukan sekadar salah teknik atau taktik tapi soal karakter. Dalam sepak bola level atas, mentalitas “selesaiin kerjaan” itu sangat penting. Bila tim besar seperti Manchester United kehilangan naluri “membunuh” ruthless killer instinct maka hasil imbang atau kekalahan melawan tim lemah bisa jadi kebiasaan.
Kritik dari Roy Keane harus jadi wake up call bahwa dominasi bola dan gol pertama itu hanya awal memenangkan laga butuh agresivitas, konsistensi, dan mental kuat sampai peluit akhir. Tanpa itu, MU bisa terus membuang poin penting.

